makalah anak tunagrahita
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
tunagrahita mungkin terasa asing ditelinga masyarakat. Tunagrahita merupakan
sebuah istilah bagi mereka yang mengalami gangguan mental ataupun
keterbelakangan mental khususnya dalam hal kecerdasan. Masyarakat sering
memberikan sebutan-sebutan lain bagi anak tunagrahita. Diantara sebutan-sebutan
lain mengenai anak tunagrahita yaitu cacat mental, mental subnormal, bodoh,
idiot, tolol, terbelakang mental dan masih banyak sebutan lainnya.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah anak “keterbelakangan
mental”. Sebenarnya istilah itu adalah sebutan untuk anak tunagrahita. Bagi
masyarakat awam mereka adalah anak yang terlahir karena kutukan bagi orang
tuanya. Sehingga setiap orang tua yang mempunyai anak cacat (tuna) merasa malu
dan menyembunyikan anak tersebut. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa
anak cacat adalah anak yang membawa keberuntungan. Masyarakat belum begitu mengenal
istilah anak tunagrahita. Anak tunagrahita adalah bagian dari anak berkebutuhan
khusus. Sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan potensinya secara optimal.
Anak tunagrahita adalah mereka yang
kecerdasannya jelas-jelas berada di bawah rata-rata, disamping itu mereka
mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka
memiliki hambatan pada dua sisi, yaitu pada sisi kemampuan intelektualnya yang
berada dibawah anak pada umumnya. Anak tersebut memiliki kemampuan
intelektualnya yang berada pada dua standar deviasi dibawah normal jika diukur
dengan tes intelegensi dibandingkan dengan anak normal lainnya dan kekurangan
pada sisi prilaku adaptifnya atau kesulitan dirinya untuk mampu bertingkah laku
sesuai dengan situasi yang belum dikenal sebelumnya.
Moh. Amin (1995:11), menguraikan
gambarkan tentang anak tunagrahita sebagai berikut: anak tunagrahita kurang
cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit-sulit dan yang
berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan sehari
dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya dan bukan hanya
dalam satu dua hal tetapi hampir segala hal dan dalam pelajaran seperti:
mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol berhitung, dan
dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis, mereka juga terhambat dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Berdasarkan pengertian yang telah
dipaparkan diatas, maka anak tunagrahita memiliki karakteristik tersendiri pada
segi tingkah laku, emosi dan sosialnya, cara belajarnya dan kesehatan pada
fisiknya. Untuk karakteristik tersebut, setiap anak tunagrahita memiliki
karakteristik yang berada sesuai dengan tingkat kekurangannya. Secara umum
karakteristik tersebut dapat digeneralkan kedalam intelegensi, tingkah laku.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
karakteristik anak tunagrahita tersebut ?
2. Hambatan
atau kekurangan apa yang ada pada anak tunagrahita tersebut ?
3. Bagaiman
proses pembelajaran pada anak tunagrahita ?
4. Perkembangan
dalam pembelajaran apa saja yang ada pada anak saat disekolah?
5. Apa peran
orangtua dan lingkungan mendukung potensi yang ada pada anak ?
6. Bagaimana
cara anak bersosialisasi dilingkungan sekolah?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan:
a.
Agar dapat mengetahui apa saja karakteristik anak
tunagrahita baik itu dalam proses kognitif, penguasaan dan penggunan bahasa.
b.
Bukan hanya mengenal tapi juga juga memahami perkembangan
dari karakter anak tunagrahita.
c. Untuk memberikan arahan dan pengetahuan
yang jelas kepada masyarakat tentang pandangan mereka terhadap karakter anak
tunagrahita.
Manfaat:
a.
Dapat memberikan pandangan positif pada masyarakat bagaimana
karakteristik dari anak tunagrahita.
b.
Kita bisa lebih mengenal dan menganalisis bagaimana proses
kognitif, penguasaan dan penggunaan bahasa mereka saat kita berada dilingkungan
masyarakat.
c.
Kita juga dapat menggolongkan karakter mereka masing-masing
sesuai dengan kebutuhan yang mereka perlukan.
d.
Memberi kontribusi kepada para calon-calon pendidik maupun
guru-guru ABK dalam memahami karakteristik terutama karakter anak tunagrahita.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
DEFINISI
TUNAGRAHITA
Dirumuskan
Grossman (1983) yang secara resmi digunakan AAMD (American Association on
Mental Deficiency), yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual
umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal)
bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini
berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya .
Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang perlu
kita perhatikan, yaitu:
•
Fungsi intelektual umum secara signifikan
berada dibawah rata-rata
•
Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian
(perilaku adaftif)
•
Ketunagrahitaan berlangsung pada periode
perkembangan.
Definisi Anak Tunagrahita
Menurut Beberapa Ahli
-
Japan League for Mentally Retarded
Bahwa
anak tunagrahita mempunyai intelektual yang lamban, yaitu IQ 70 kebawah
berdasarkan tes intelegensi baku.
-
Moh. Amin
Bahwa
anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya di bawah rata-rata dan
mengalami hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan.
-
Hj.T.Sutjihati Somantri
Bahwa
tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual di bawah rata-rata
B.
ISTILAH-ISTILAH
BAGI ANAK TUNAGRAHITA.
1.
Dalam
Bahas Asing (Inggris)
o Mental retardation
o Mentally handicapped
o Mental deficiency
o Mental subnormality
o Intellectually
handicapped
o Intelecctually disabled
o Feebleminded
2.
Istilah-istilah
anak tunagrahita
-
Lemah pikiran (Feeble
Minded)
-
Terbelakang mental (Mentally
Retarded)
-
Bodoh atau dungu
(Idiot)
-
Pandir (Imbecile)
-
Tolol (Moron)
-
Oligofrenia (Oligophrenia)
-
Mampu Didik (Educable)
C.
PENYEBAB KETUNAGRAHITAAN
Seseorang
menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Strauss membagi faktor
penyebab ketunagrahitaan menjadi 2 (dua) gugus yaitu endogen dan eksogen.
Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel keturunan dan eksogen adalah
hal-hal diluar sel keturunan, misal : infeksi, virus menyerang otak, benturan kepala
yang keras, radiasi.
Faktor
lain yang menyebabkan ketunagrahitaan :
1. Keturunan
/ genetik
·
Kerusakan atau kelainan
biokimiawi
·
Abnormalitas kromosomal
·
Kelainan Kromosom
·
Kelainan Genetik
2. Pada
masa sebelum kelahiran
3. Infeksi rubella
4. Faktor
resus
5. Pada
saat kelahiran
Retardasi mental atau tunagrahita yang
disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada
saat kelahiran, sesak napas, dan lahir premature.
6. Pada saat setelah lahir.
Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya
: meningitis (peradangan dalam selaput otak dan problema nurisi yaitu
kekurangan gizi misanya : kekurangan protein yang didierita bati dan awal masa
kanak-kanak dapat menyebabkan tunagrahita.Faktor sosio kultural.
7. Faktor
Sosio Kultural.
Sosio kultural atau sosial budaya
lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan
intelektual manusia
8. Gangguan
metabolisme atau nutrisi.
o Pheniketanuria
.gangguan pada metabolisme asam amino , yaitu gangguan pada enzim peniketo
nuria.
o Gargoylisme.
Gangguan metabolosme SACCHAride dalam
hati , limpa kecil.
o Cretinisme.
Gangguan pada hormon tiroid yang dikenal karena defisiensi yodium.
Secara
umum , grosman al, 1973 dalam B3KTPSM (P.24 menyatakan penyebab tunagrajita
akibat dari :
o Infeksi
iktosikasi
o Rupa
paksa atau sebab fisIk lain
o Gangguan metabolima , pertumbuhan atau gizi
o Penyakit otak yang nyata ( kondsi setelah
lahir)
o Akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir
yang tidak diketahui
o Akibat kelainan kromosonal
o Gangguan waktu kehamilan
o Gangguan pasca psikiatrik, atau ganguan jiwa
berat
o Pengaruh-pengaruh lingkungan
o Kondisi kondiSI lain ynag tak tergolongkan
D.
USAHA
PENCEGAHAN TUNAGRAHITA
1. Diagnostik
prenatal
2. Imunisasi
3. Tes
darah
4. Pemelihaaan
kesehatan
5. Sanitasi
lingkungan
6. Penyuluhan
genetik
7. Tindakan
operasi
8. Program
keluarga berencana
9. Interfesi
dini
E.
KLASIFIKASI
ANAK TUNAGRAHITA
Beberapa
klasifikasi berdasarkan :
A.
Penggolongan
ATG untuk keperluan pembelajaran :
1. Taraf
perbatasan (broderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (Slow
Learner) dengan IQ 70-85
2. Tunagrahita
mampu didik (Educable Mentally Retarded) dengan IQ 50-70/75
3. Tunagrahita
mampu latih (Trainable Mentally Retarded) IQ 30-50 atau 35-55
4. Tunagrahita
butuh rawat (Dependent or Profoundly Mentally Retarded) dengan IQ dibawah 25
atau 30
B.
Penggolongan
ATG secara Medis-Biologis :
1. Tunagrahita
taraf perbatasan IQ 68-85
2. Tunagrahita
ringan IQ 52-67
3. Tunagrahita
sedang IQ 36-51
4. Tunagrahita
sangat besar IQ > 20
C.
Penggolongan
ATG secara Sosial-Psikososial berdasarkan Psikometrik :
1. Tunagrahita
ringan (mild mental retardation) IQ 55-69
2. Tunagrahita
sedang (moderate mental retardation) IQ 40-54
3. Tunagrahita
berat (profound mental retardation) IQ 25-39
4. Tunagrahita
sangat berat (profound mental tetardation) IQ 24 <
D.
Penggolongan
ATG secara klinis :
1. Sindroma
Down / Mongoloid
2. Hydrocephalus
yaitu ukuran kepala besar yang berisi cairan
3. Microcephalus
yaitu ukuran kepala terlalu kecil
4. Makrocephalus
yaitu ukuran kepala terlalu besar
F.
KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA
Saat ini banyak masyarakat dan
pendidik yang belum mengetahui bagaimana karakteristik dari anak tunagrahita. Menurut AAMR (1992) Tunagrahita
merujuk kepada fungsi intelektual umum yang berada dibawah rata-rata secara
signifikan (merujuk kepada hasil tes inteligensi individu, berarti skor IQ dua
standard deviasi atau lebih dibawah rata-rata) yang berkaitan dengan hambatan
dalam perilaku adaptif (merujuk kepada derajat dimana terpenuhi standard
individu dari independensi personal dan respansibilitas sosial yang diharapkan
dari umur dan kelompok budaya, atau merujuk kepada 10 keterampilan adaptif,
yaitu: komunikasi, merawat diri, kehidupan keseharian, keterampilan sosial,
penggunaan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik
fungsional, waktu luang, dan karya yang terjadi selama periode perkembangan
(dari lahir sampai usia 18 atau 22 tahun).
Karakteristik Umum Tunagrahita
Menurut Kartono dalam Natawijaya R.(1996), terdapat lima karakteristik umum
anak tunagrahita, yaitu:
(1) lambat dalam memberikan reaksi,
yaitu perlu waktu lama untuk bereaksi atau memahami sesuatu yang baru.
(2) rentang perhatiannya pendek,
tidak dapat menyimpan perintah (stimulus) dalam ingatan dengan baik.
(3) terbatas kemampuan berbahasanya,
mudah terpengaruh pembicaraan orang lain, terbatas dalam konsep persamaan dan
perbedaan, maupun konsep besar dan kecil.
(4) kurang mampu mempertimbangkan
sesuatu, membedakan baik-buruk, benar-salah, atau konsekuensi dari suatu
perbuatan.
(5) perkembangan jasmani dan
kecakapan motoriknya kurang.
Beberapa karakteristik anak
tunagrahita meliputi proses kognitif dalam hal akademik, penguasaan dan
penggunaan bahasanya.
A.
Karakteristik dalam Proses Kognitif
Faktor kognitif
merupakan hal yang sulit bagi anak tersebut, khususnya yang berkenaan dengan
perhatian atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan
dalam kemampuan akademiknya. Proses kogntif dapat disebut juga hambatan pada
intelegensi mereka.
Menurut
Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang
meliputi semua kemampuan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi.
Mussen,
Conger dan Kagan (1974) mengemukakan paling sedikit terdiri dari lima proses
yaitu: persepsi, memori, kemunculan ide-ide, evaluasi penalaran dan proses itu
meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, simbol, konsep dan kaidah-kaidah.
Kognisi adalah bidang yang luas dan beragam, peneliti tidak dapat memusatkan
pada satu proses kognitif umur pada waktu tertentu. Anak tunagrahita
menunjukkan defisit perolehan pengetahuan seperti yang digambarakan proses
kognisi meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan
dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual akan tercermin
pada proses kognitif.
Intelegensi merupakan fungsi yang
kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi
kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif,
dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak
tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar
anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung,
menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa
pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
Hambatan
dalam proses kognitif tersebut membuat anak tunagrahita kesulitan
dalam hal:
-
menyadari situasi,
benda, orang disekitarnya, tidak mampu memahami keberadaan dirinya. Hal
tersebut disebabkan oleh faktor bahasa yang menjadi hambatan.
-
sulit memecahkan
masalah, tidak mampu membuat rencana bagi dirinya, sulit untuk memilih
alternatif pilihan yang berbeda.
-
Mereka sulit sekali
untuk menuliskan simbol-angka, memiliki ksulitan dalam bidang membaca, menulis
dan berhitung.
-
Kemampuan belajar anak
tunagrahita terbatas
-
Mereka mengalami
kesulitan yang berarti dalam pengetahuan yang bersifat konsep dan dalam
menempatkan dirinya dengan keadaan situasi lingkungannya.
Beberapa
penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dapat
dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menerapkan teori
kejenuhan cortical (Cortical Satiation Theory) terhadap anak tunagrahita Spitz
mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (Cortical cells) anak
tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik.
Perubahan-perubahan temporer pada sel ortikal lebih lambat kembali pada keadaan
semula. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sel kortikal lebih sulit.
Fleksibilitas
mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan dalam
pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sulit bagi anak
tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks. Kemampuan intelegensi anak
tunagrahita diukur dengan tes Standford Bine dan skala Weschler (WISC):
Level Keterbelakangan
|
IQ
|
|
Stanforrd Binet
|
Skala Weschler
|
|
Ringan
|
68-52
|
69-55
|
Sedang
|
51-36
|
54-40
|
Berat
|
32-20
|
39-25
|
Sangat Berat
|
19
|
24
|
Pembelajaran untuk anak
tunagrahita pada hambatan proses kognitif ini dapat berupa pembelajaran yang
konkrit, pemahaman persepsi pada anak dan konsentrasi memorinya.
B.
Karateristik
dari penguasaan dan penggunaan bahasa
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan
dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi akan
tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana
mestinya). Karena itu mereka membutuhkan kata-kata konkrit dan sering
didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara
berulang-ulang. Latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil,
keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan
yang konkrit.
Kemampuan bahasa pada anak-anak
diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat
belajar bahasa apa saja yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir
semua anak pada umumnya dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada
usia 3-4 tahun (Gauri, 2007).
Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat
yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka
ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya.
Hal
ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka
dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam
menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.
Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya
dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan
perkembangan kognitifnya. Pada kenyataanya anak tunagrahita mengalami hambatan
dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat.
Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan
bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama dengan
usia mentalnya (mental age).
Anak
tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan
yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi, 2005:23). Hasil penelitian Robert
Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan
menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan
bahwa:
1. Anak tunagrahita memperoleh
keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal.
2. Kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh
keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal.
3. Kebanyakan anak tunagrahita tidak
dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna.
4. Perkembangan bahasa anak tunagrahita
sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama.
5. Anak tunagrahita mengalami kesulitan
tertentu dalam menguasai gramatikal
6. Bahasa tunagrahita bersifat
kongkrit.
7.
Anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan kalimat
majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.
McLean
dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan bahwa anak tunagrahita
cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi,
sintaksis, dan semantic. Dalam hal semantic mereka cenderung kesulitan dalam
menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam
pengelompokkan hubungan antara obyek dengan ruang, waktu, kualitas, dan
kuantitas.
Sutjihati
(Sunardi dan Sunaryo, 2006) menjelaskan bahwa anak tunagrahita disamping dalam
komunikasi sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka
umumnya juga mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme,
serta mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara.
Secara
lebih teperinci Gauri (2007) memaparkan perkembangan bahasa pada anak
tunagrahita. Dalam penjelasannya ini Gauri Pruthi menyajikan hasil penelitian
perkembangan bahasa pada anak Down syndrome :
a. Perkembangan Prabahasa
Perkembangan
ini dimulai dari bayi baru lahir. Jika dilihat dari masa ini maka antara bayi
normal dan bayi Down syndrome hampir memiliki perkembangan yang sama (Gauri,
2007). Hanya saja bayi normal lebih aktif dan menunjukkan perilaku tangisan
yang lebih keras atau lepas. Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra
bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya
frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh
pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams
syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak
menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.
b. Perkembangan Vokal
Hasil
penelitian Oller dkk (Gauri, 2007) terhadap anak-anak Down syndrome usia 0-2
tahun menunjukkan bahwa perkembangan vocal (babbling) anak-anak ini tertinggal
2 bulan dibandingkan dengan anak normal. Anak Down syndrome usia ini juga tidak
stabil dalam perkembangan babbling atau merabannya atau cenderung kurang aktif
melakukannya dibanding anak- anak normal.
c. Perkembangan Sosial dan Komunikasi
Bayi
Down Sindrom 0-18 bulan memperlihatkan keterlambatan perkembangan kontak mata,
begitu pula dalam perkembangan merabanya (Berger & Cunninghan dalam Gauri,
2007). Sejalan dengan itu Jasnow dan kawan-kawan (Gauri, 2007) menyatakan
mereka juga kurang memiliki interaksi dengan ibunya. Pada usia satu tahun lebih
mereka mulai lebih dominan menggunakan penglihatannya dibandingkan menggunakan
anggota tubuh lainnya untuk mengeksplorasi lingkungan. Bayi Down syndrome (18
bulan) juga menunjukkan ketertarikan dengan ibunya atau orang lain dengan
kontak mata. Namun, mereka kesulitan berinteraksi dengan ibunya dan mainannya
dalam waktu bersamaan. Komunikasi yang terjalin dengan ibu lebih banyak
menggunakan kontak mata dibanding vokalisasi ucapannya.
Perbedaan
perkembangan pola interaksi semakin terlihat jelas ketika bayi Down sindrom
memasuki usia dua tahun lebih. Perbedaan tersebut direfleksikan dalam bentuk
bermain dan komunikasi. Mundy dan kawan-kawan (Gauri, 2007) melakukan
penelitian yang komprehensif tentang komunikasi sosial terhadap kelompok
anak-anak Down syndrome usia 2-3 tahun. Anak-anak tersebut dibandingkan dengan
anak-anak normal dengan usia yang sama. Hasilnya anak-anak Down sindrom
menunjukkan perilaku interaksi sosial yang lebih banyak dibandingkan dengan
anak pada umumnya. Tapi anak Down sindrom lebih sedikit berkata-kata dan tidak
mampu mengungkapkan apa yang dimintanya melalui ucapan dibanding dengan anak
pada umumnya. Anak-anak Down sindrom juga lebih fokus kepada orang-orang
disekitar dari pada objek bendanya ketika menginginkan sesuatu. Kondisi
tersebut merefeksikan keterlambatan perkembangan bahasanya. Mereka lebih suka
menarik tangan, menunjuk, atau melakukan gesture tertentu kepada orang sekitar
ketika menginginkan sesuatu dari pada meminta objek dengan ucapan.
d. Perkembangan Semantik
Semantik
adalah bagian dari struktur bahasa yang lebih menekan pada perkembangan
pemahaman makna kata dalam satu kelompok atau kalimat. Perkembangan bahasa
anak-anak pada umumnya mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat ketika
mereka mulai berusia satu tahun. Perkembangan bahasanya terlihat pada
perbendaharaaan kata yang dimilikinya. Semakin berkembang ketika usia 36 bulan,
mereka menguasai lebih dari 500 kata dan mereka memahami kata-kata tersebut
(Fenson, 1994 dalam Gauri, 2007).
Perkembangan
perbendaharaan kata pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia
mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan
ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).
Penelitian terakhir tentang penggunaan kata benda (kaitannya dalam masalah
semantic) pada anak Down syndrome ternyata mereka ini lebih menggunakan kata
dasarnya atau pada tingkat dasar.
Semua
objek dipilih karena kelompok dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan
mobil sedan, truk, atau bis, semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak
kesulitan jika harus melabel hingga subordinat dan superordinat.
Mereka
hanya akan melabel pada tingkat dasar. Penelitian lain yang mendukung Mervisn
dan Bertrand (Gauri, 2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih
memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau
bagian-bagian dari objek itu.
e. Perkembangan Fonologis (Bunyi
Bahasa)
Mereka
juga belajar bagaimana mengartikulasikan (mengucapkannya) sesuai dengan aturan
bahasa yang berlaku. Hampir semua perkembangan fonologis semakin sempurna
ketika anak-anak mulai masuk sekolah. Namun, mereka terkadang harus berhadapan
dengan kesalahan pengucapan. Anak-anak tunagrahita cenderung memperlihatkan
adanya gangguan artikulasi. Anak-anak Down syndrome menunjukkan kesulitan pada
aspek fonologis yang dapat berkaitan dengan keterlambatan perkembangan
merabanya dan bisa juga diakibatkan keterlambatan perkembangan bahasanya secara
umum. Penelitian Dodd (Gauri, 2007) membandingkan kesalahan fonologi pada
anak-anak Down syndrome berat dengan anak tunagrahita ringan, dan anak-anak
normal, mereka itu memiliki usia mental yang sama. Hasilnya, anak-anak Down
syndrome lebih banyak memiliki kesalahan fonologis dan memiliki berbagai
variasi kesalahan yang sangat berbeda dibandingkan dengan dua kelompok lainnya,
serta anak-anak Down syndrome perkembangan fonologi jauh tertinggal secara
signifikan dari level kognitifmya.
f. Perkembangan Tata Bahasa Awal
Setelah
kemampuan melabe atau member nama suatu objek dikuasai, kemudian anak-anak
biasanya mencoba mengkombinasikan kata-kata yang sudah dipahami dirangkai
menjadi dua-tiga kata sehingga membentuk ucapan/perkataan sederhana yang juga
disebut ucapan telegrafik. Secara bertahap kemampuan anak-anak dalam membuat
kalimat semakin bertambah panjang, seiring dengan bertambahnya pemahaman makna
kata dan elemen-elemen gramatikal, pertumbuhan seperti itu dapat diukur dengan
Mean Length Utterances (MLU) (Brown, 1973 dalam Gauri, 2007). Perkembangan tata
bahasa awal juga ditemukan pada anak-anak tunagrahita. Tapi perkembangannya
terlambat dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mengkaji masalah tersebut terhadap anak-anak
Down syndrome. Hasilnya jika diukur dengan MLU maka pada mereka itu akan
ditemukan penyebaran perubahan rata-ratanya sangat bervariasi.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ditemukan bahwa pada anak-anak Down syndrome mampu
merangkai dua kata menjadi ungkapan yang bermakna terjadi pada usia enam tahun.
Tentunya hal itu tertingal banyak oleh anak-anak normal (Tager, 1990 dalam
Gauri, 2007).
g. Perkembangan Pragmatik
Selain fonologi, kosa kata dan tata
bahasa, anak-anak juga harus belajar menggunakan bahasa secara efektif sesuai
dengan konteks sosialnya. Dalam percakapan normal partisipan harus saling
berbagi giliran, berada ada dalam topik pembicaraan yang sama, pernyataan dari
pesan yang disampaikan harus jelas dan sesuai aturan budayanya sehingga
mendukung setiap individu dalam percakapan tersebut. Dalam penelitian terhadap
perkembangan pada anak-anak normal yang menyelidiki beberapa aspek perkembangan
pragmatik, didalam tersusun atas perkembangan perilaku bicara, kompetensi
percakapan, dan sensitifitas terhadap kebutuhan pendengar. Perkembangan
perilaku bicara tersusun atas perilaku ketika meminta, perintah, mengeluh,
menolak dan interaksi. Kompetensi percakapan terdiri dari mampu mengelola topik
percakapan dalam waktu yang lama, saling bergiliran bicara, dan mampu
menambahkan informasi baru sesuai dengan topik yang sedang berlangsung.
Sensitif terhadap kebutuhan pendengar/lawan bicara dengan cara merespon dengan
tepat terhadap apa yang diminta.
Ada beberapa aspek yang ada dalam
perkembangan pragmatik:
-
Perkembangan Perilaku Bicara
Sangat kontras sekali antar
kemampuan sintaksis dan kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome,
setelah diukur melalui MLU, ternyata sama dengan anak-anak normal, yaitu berada
pada rentang 1,7 hingga 2,0. Namun secara fungsional tetap tertinggal dibandingkan
dengan anak normal meskipun dengan usia mental yang sama. Dari aspek fungsional
lainnya ketika meminta, anak-anak Down syndrome lebih banyak menggunakan satu
kata. Begitu pula dengan yang lainnya.
-
Kompetensi Percakapan
Anak-anak pada umumnya mampu berbagi
giliran untuk bercakap-cakap sebab mereka sejak awal perkembangan bahasa sudah
memiliki pengalaman belajar berintekasi bahasa dengan ibunya.
Berbeda dengan anak-anak Down syndrome mereka
sedikit mengambil pengalaman berbahasa sejak awal sehingga kesulitan untuk
kesulitan untuk berbagi giliran bicara, kesulitan melakukan percakapan sesuai
topik, sering beralih topik pembicaraan bukan menambah informasi untuk
memperkuat topik perbincangan.
-
Sensitifitas Terhadap Kebutuhan Pendengar
Lawan bicara terkadang membutuhkan
informasi tambahan, meminta pengulangan ucapan/pembicaraan, atau minta
penjelasan. Jika itu bisa dipahami maka perbincangan akan semakin menarik.
Hanya saja itu sulit bagi anak-anak Down syndrome. Mereka lebih fokus pada
perbincangannya sendiri. Namun demikian, penelitian pada anak-anak Down
syndrome usia 10 tahun ke atas, mereka lebih mampu melakukan itu walau pun
sebatas mengulang pembicaraan.
Berdasarkan perkembangan bahasa di
atas maka kemampuan bahasa anak tunagrahita cukup rendah. Masalah kemampuan
bahasa yang rendah pada anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang
diberikan kepada mereka seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari
penggunaan bahasa yang kompleks (rumit). “Bahasa yang digunakan hendaknya
berbentuk kalimat tunggal yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk
mengkongkritkan konsep-konsep abstrak agar ia memahaminya.” (Rochyadi,
2005:24).
Secara umum perkembangan bahasa
digambarkan oleh Myklebust (1960):
a. Nerlanguage
Inerlanguage adalah aspek bahasa yang
pertama berkembang. Muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku
yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep-konsep sederhana, seperti
anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara satu
objek dengan objek yang lainnya. Tahap berikut dari perkembangan innerlanguage
adalah anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan dapat
bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun perabot
didalam rumah-rumahan. Bentuk yang lebih komples dari perkembangan
innerlanguage adalah mentransformasikan pengalaman ke dalam symbol bahasa.
b. Receptive Language
Setelah innerlanguage berkembang,
maka tahap berikutnya dalah receptive language muncul. Pada kira-kira umur 8
bulan anak mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan orang lain
kepadanya, anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti
perintah. Menjelang kira-kira umur 4 tahunan anak lebih menguasai kemahiran
mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive process) memberikan
perluasan kepada sistem bahasa verbal.
Terhadap hubungan timbal balik
antara innerlanguage dengan receptive language. Perkembangan innerlanguage,
melewati fase pembentukan konsep-konsep sederhana menjadi tergantung kepada receptive
language.
c. Ekspressive Language
Aspek
terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (ekspresive
language). Menurut Myklebust ekspresive language berkembang setelah pemantapan
pemahan. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira – kira 1 tahun.
Perkembangan
bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan
timbal balik. Anak tuna grahita pada umumnya tidak bias menggunakan kalimat
majemuk, dalam percakapan sehari-hari mereka lebih banyak menggunakan kalimat tunggal.
Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA yang sama, anak
tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan
ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan
bicara (ekspresive auditori language).
Dalam
perkembangan morfologi anak normal menguasai peningkatan sejumlah morfem
sejalan dengan perkembangan umum. Demikian juga anak tunagrahita dan anak
normal yang memiliki MA yang sama memperlihatkan level yang sama dalam
perkembangan morfologi. Akan tetapi anak tunagrahita yang memiliki CA yang sama
dengan anak normal, anak tunagrahita memiliki tahap lebih rendah dengan
perkembangan morfologinya.
Ada
penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Endang Rochyadi (1983) mengenai
kemampuan berbahasa anak tunagrahita khususnya berkaitan dengan sintaksis dan
perbendaharaan kata.
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa MA
berkolerasi dengan kemampuan tata bahasa (sintaksis), sedangkan CA berkolerasi
dengan perbendaharaan kata. Ini berarti bahwa sintaksis memerlukan kemampuan
kecerdasan yang baik.
Hal
terakhir dari perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa yang
disebut semantic. Anak terbelakang menunjukkan perkembangan semantic lebih
lambat dari pada anak normal. Tetapi tidak ada bukti bahwa mereka memiliki
perbedaan pola perkembangan sistaksis. Hasilnya menunjukkan bahwa anak
tunagrahita lebih lambat dari pada anak normal dari pada kata permenit lebih
banyak menggunakan kata-kata positif, lebih sering menggunakan kata-kata yang
lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan kata ganti, lebih sering
menggunakan kata-kata bentuk tunggal, dan anak tunagrahita dapat menggunakan
kata-kata bervariasi.
BAB III
LAPORAN HASIL STUDI
LAPANGAN
A.
Pelayanan
Anak Di Sekolah
SLB B/C Dharma wanita terdiri dari TK
LB, SDL]B, SMPLB dan SMALB dari awal tahun 2003. Awalnya dibawah naungan
Gubernur secara sistematis dibawah naungan ibu Sekda.
·
Layanan
Pendidikan Anak tunagrahita di SDLB Dharma wanita
-
Tidak ada batasan umur
-
Untuk jurusan C ada
syarat dari psikolog untuk test IQ.
-
Guru pengajar siap
mendidik anak dan memberikan bimbingan untuk memahami karakter dan pembelajaran
anak saat di rumah.
-
Pelayanan di kelas
secara individual dengan berbagai karakter dari anak tersebut.
·
Jumlah
anak tunagrahita di sekolah
-
Anak tunagrahita ada 35
orang
Laki-laki
|
Perempuan
|
Keterangan
|
9
|
26
|
C
= 17
C1=
12
2
anak tidak aktif
|
·
Pembelajaran
di sekolah
-
Kurikulum mengikuti ank
-
Kurikulum dari pusat
tahun 2006 : untuk anak C masih bisa diberikan tapi untuk C1 tidak dapat
sepenuhnya.
-
Pembelajaran secara
tematik sesuai dengan keadaan anak
-
Di kelas dilihat
kondisi anak pelajaran apa yang diinginkan anak, dan pembelajaran tersebut
dimodifikasi agar anak tidak merasa bosan
-
Di sekolah
masing-masing anak sudah mendapatkan buku pedoman belajar
-
Sistem raport sama
dengan sekolah regular dan Program khususnya dalam Bina diri (Kemandirian)
-
Batas waktu masuk di
sekolah dari jam 08.00-12.00 (disesuaikan dengan kebutuhan anak)
-
Ekstrakurikuler :
pramuka dan olahraga
·
Fasilitas
di dalam kelas
-
Papan tulis
-
Di dalam kelas terdiri
dari ±3-6 orang anak
-
Gambar-gambar hasil
anak dalam mewarna
-
Di dalam kelas tertentu
terdapat wastafel
-
Susunan / letak meja
diatur sesuai kebutuhan anak
B.
Beberapa
Sample Anak
·
Kelas 1 SD :
Masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda,
hampir setengah dari siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan sisanya
masih memerlukan arahan yang lebih. Saat itu guru sedang mengajakan tentang
benda padat :
1. Mimi
-
Secara fisik tidak
tampak seperti anak tunagrahita karena tergolong tungrahita ringan
-
Memahami pelajaran tapi
cepat lupa
2. Ikhsan
-
Secara fisik meunjukkan
karakter anak tunagrahita sedang
-
Dia mampu membersihkan
ingusnya dengan tissue tapi masih harus tetap diarahkan untuk membuang tissue
ke tempatnya
-
Sulit memusatkan
perhatian terhadap pelajaran
3. Karina
-
Secara fisik tergolong
karakter anak C.
-
Dalam segi motoriknya
masih lemah contohnya dalam membuka retsleting tas dan ia masih memerlukn
bantuan dari guru.
4. Dani
-
Secara fisik terolong
karakter anak C1
-
Dalam pembelajaran sama
sekali sulit dalam memusatkan perhatian.
5. Desi
-
Secara fisik tergolong C1
-
Sudah mampu dalam
mengikuti pelajaran
6. Fahri
-
Secara fisik tergolong
ringan
-
Dia baru masuk ke SLB,
karena saat di sekolah regular sudah 3 tahun tinggal kelas.
-
Dia mengikuti pelajaran
di kelas dengan baik
·
Kelas 2 SD
1. M.
toha
-
Mengalami hambatan low
vision
-
Berbicara dan berbahasa
terhambat
-
Kurang kontak mata
-
Jika mau menulis
dituliskan dulu oleh gurunya dibuku
-
Setiap tulisan gurunya
diberi jarak 1 baris agar anak bisa menirukan tulisan gurunya.
-
Jika pulang sekolah ia
bisa memasang sendiri jaket, kaos tangan dan helmnya.
2. Rismawati
( 10 tahun)
-
Tulisan masih
besar-besar dan tidak jelas
-
Berhitung sudah agak
bisa meskipun hanya pada satuan
-
Penampilan seperti anak
pada umumnya
-
Membaca sudah agak bisa
meski masih mengeja
3. Iyah (10
tahun)
-
Masih sulit mengarahkan
perhatian
-
Menulis hurufnya
terkadang tidak sesuai garis buku
-
Sudah bisa merapikan
alat tulisnya
-
Jika diintruksikan ia
mengerti namun perlu perbaikan dari tulisannya.
·
Kelas 6
1. Indri
-
Masih bisa membaca tapi
harus diejakan dan diarahkan.
-
Jarak membaca tulisan
pun sangat dekat.
-
Masih bisa diajak
berkomunikasi walaupun sering mengalihkan perhatian dengan mengancing baju.
C.
Sampel
Riwayat Anak
a. Keterangan
Anak
1. Nama Lengkap :
Siti Aisyah
2. Jenis Kelamin :
Perempuan
3. Tempat/Tanggal Lahir : -
4. Agama :
Islam
5. Status dalam Keluarga : Anak tiri
6. Anak ke :
3
7. Jumlah Saudara : 2
8. Tinggi Badan :
-
9. Berat Badan :
26 kg
10. Golongan Darah :
B
b. Keterangan
Orangtua / Wali
1. Nama Ayah :
H. Abdus Sahid
2. Umur :
40 tahun
3. Pendidikan Terakhir : SLTA
4. Pekerjaan :
Dagang
5. Nama Ibu :
Hj. Masmurah
6. Pendidikan Terakhir : 30 tahun
7. Pekerjaan :
Dagang
8. Penghasilan Orang Tua : Rp 3.000.000,- per bulan
9. Alamat Orang Tua : Jl. Sultan Adam Raya 2
10. Nama Wali (bila ada) : Risty Aulia
11. Umur :
28 tahun
12. Pendidikan Terakhir : SLTA
13. Pekerjaan :
Dagang
14. Hubungan dengan Anak : Anak Tiri
15. Alamat Wali :
Jl. Sultan Adam Raya 2
D. Riwayat Hidup
Anak
1. Sebelum kelahiran :
ibu sehat selama mengandung
2. Saat kelahiran, lama kandungan : cukup bulan, berat badan…. gram….cm
3. Melahirkan di : rumah bersalin/rumah sakit
4. Ditolong oleh : bidan
5. Proses kelahiran : biasa (normal)
6. Makanan pertama yang diberikan : susu kaleng,
mulai umur…bulan sampai…bulan
7. Perkembangan tengkurap anak : terlambat
8. Perkembangan duduk anak : terlambat
9. Perkembangan pengucapan kata : terlambat
10. Perkembangan kelancaran berbicara : terlambat
11. Subyek dalam hal mengisap jempol : tidak
terdapat kelainan
12. Subyek dalam hal mengompol : tidak terdapat
kelainan
13. Subyek terhadap perhatian dalam lingkungan :
tidak terdapat kelainan
14. Subyek dalam hal perasaan takut : terdapat
kelainan
15. Subyek dalam hal perasaan malu : tidak terdapat
kelainan
16. Subyek dalam hal kegiatan sehari-hari : terdapat
kelainan
17. Anak menjadi mandi sendiri : tidak
18. Anak menjadi buang air besar sendiri : ya
19. Anak menjadi berpakaian sendiri : tidak
20. Anak menjadi makan sendiri : tidak
21. Anak menjadi bermain dengan mainan : ya
22. Anak menjadi bergaul dengan anak sebaya : ya
23. Anak menjadi taat kepada orang tua : ya
24. Anak menjadi lain : ya
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tanggal 18 April
2013 mahasiswa FKIP Pendidikan Luar Biasa angkatan tahun 2012 melaksanakan
kegiatan studi lapangan di SLB B/C Dharma Wanita guna memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Anak Tunagrahita.
Disana kami diberi pengarahan oleh
kepala sekolah dan salah satu guru yang khusus menangani anak tunagrahita.
Beliau juga memberikan materi berupa pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan keadaan anak tunagrahita di SLB B/C Dharma Wanita tersebut. Setelah
pengarahan selesai kami langsung terjun kelapangan melihat proses kegiatan
belajar didalam kelas.
Dari data sampel anak diatas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang dipakai dalam kelas oleh guru mengikuti
kebutuhan anak. Beberapa anak sudah dapat mengikuti dengan baik dan ada
beberapa anak yang memiliki hambatan lainnya. Dilihat dari bina dirinya
masing-masing anak sudah mampu melakukan aktifitas pribadinya sendiri sesuai
tingkat kemampuannya.
Jadi dalam pembelajaran anak
tunagrahita mereka tidak dapat memahami konsep secara abstrak dan guru harus
lebih memahami masing-masing keadaan anak.
B. Saran
- Diharapkan adanya laporan studi
lapangan ini dapat menambah pengetahuan tentang anak tunagrahita dan melihat secara
langsung karakteristik anak tunagrahita
- Diharapkan laporan ini memberikan
kontribusi bagi calon guru ABK dan sekolah agar dapat melaksanakan pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Moh. 1996 : Ortopedagogik Anak Tunagrahita, Jakarta: Dirjen Dikti.
Bratanata, S.A. 1979 : Pendidikan Anak Terbelakang Mental, Jakarta: Depdikbud.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1989). UURI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Dirjen PLB 2006. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1991 :
Tentang Pendidikan Luar Biasa.
Moh.Amin.
(1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Patton
and Payne. (1986). Mental Retardation.
Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Soemantri Sutjihati, dkk. Psikologi Anak Luar Biasa, Jakarta: Dirjen Dikti Proyek Pendidikan
Tenaga Guru, Depdikbud.
Suhaeri H.N. (1980). Ortopedagogik Umum 1 dan 2. Diktat Kuliah. Bandung: PLB FIP IKIP.
Suhaeri
H.N. (1979). Penyelidikan tentang
Persepsi Visual Anak Terbelakang. Bandung: PLB FIP IKIP.
.
salam luar biasa :)
BalasHapusPLB/ FIP/ UNY