anak tunanetra ( OM dan ADL)
BAB I
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Aksesibilitas Untuk
Difable Khususnya Tunanetra
Sebelum mengenal
apa itu OM dan ADL maka ada kaitannya dengan aksesibilitas. Aksesibilitas
tersebut digunakan untuk para difable. Secara istilah, difable adalah setiap
orang yang memiliki kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan hambatan bagi mereka untuk melakukan kegiatan sebagai layaknya orang
normal, (Kompas, Rabu 7 Juni 2000 dalam Darmawan, 2009).
Agar para difabel tersebut mampu berperan dalam
lingkungan sosialnya, dan memiliki kemandirian dalam mewujudkan kesejahteraan
dirinya, maka dibutuhkan aksesibilitas terhadap prasarana dan sarana pelayanan
umum, sehingga mereka mampu melakukan segala aktivitasnya seperti orang normal.
Untuk persyaratan teknis
aksesibilitas yang mungkin diterapkan dalam perancangan khususnya di Indonesia
dapat dilihat pada KepMen PU 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Aksesibilitas
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Serta Peraturan Mentri
Pekerjaan Umum Nomor : 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan yang berisikan desain-desain
dan aturan-aturan pembangunan yang aksesibel.
Kemudahan dalam menggunakan bangunan umum yang dalam
hal ini sekolah diatur dalam Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Umum Sekolah yang aksesnya adalah sekolah yang memperhatikan kemudahan dan
keselamatan bagi setiap orang (Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS
tahun 1998 tentang persyaratan teknis aksesibilitas pada bangunan umum).
Kemudahan tersebut dikatakan aksesibilitas.
Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang
Penyandang cacat, aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitas terdiri dari aksesibilitas fisik dan
non fisik. Pengaturan persyaratan teknis aksesibilitas fisik pada bangunan umum
dan lingkungannya dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan binaan yang dapat
dicapai oleh semua orang, termasuk penyandang cacat. Pembangunan aksesibilitas
ini, dimaksudkan untuk terwujudnya kemandirian bagi semua orang yang memiliki
ketidak-mampuan fisik.
1. Aksesibilitas
Fisik
Aksesibilitas fisik ini meliputi bangunan sekolah,
tata letak ruang kelas, kamar kecil, perpustakaan, ruang UKS, laboratorium,
arena olahraga, halaman dan taman bermain, koridor, transportasi. Lingkungan
fisik diharapkan akses untuk semua peserta didik dan komponen sekolah lainnya.
Penyediaan aksesibilitas berdasarkan asas kemudahan, kegunaan, keselamatan, dan
kemandirian untuk mencapai keseteraan dalam segala aspek kehidupan.
Aksesibilitas di lingkungan sekolah dan sekitarnya
meliputi:
a) Jalan
menuju sekolah
b) Halaman
sekolah
c) Pintu
ruang kelas
d) Jendela
e) Koridor
kelas
f) Ruang
kelas
g) Perpustakaan
h) Laboratorium
i)
Arena olahraga
j)
Arena bermain dan taman sekolah
k) Ruang
UKS
l)
Toilet
m) Tangga
n) Penyeberangan
jalan menuju sekolah
o) Tanda-tanda
Khusus Sekolah dan Lingkungan Sekitarnya
2. Aksesibilitas
Non Fisik
Aksesibilitas
non fisik adalah kemudahan untuk mendapat peluang kesetaraan yang meliputi:
- Informasi dan teknologi yang aksesibel misalnya buku dalam huruf Braille bagi peserta didik tunanetra total, bahasa isyarat bagi peserta didik tunarungu, dan huruf besar dan tebal bagi peserta didik yang mengalami gangguan penglihatan jarak jauh (low vision).
- Diskriminasi dari masyarakat sekolah terhadap peserta didik
- Sikap guru dalam menyampaikan pelajaran kepada peserta didik tuna rungu tidak boleh membelakangi muka peserta didik
- Kesetaraan dalam kesempatan setiap pembelajaran di sekolah
3. Azas-azas Aksesibilitas
Ada beberapa
azas dalam aksesibilitas yang harus diperhatikan antara lain (Darmawan, 2009) :
·
Kemudahan,
yaitu semua orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum
dalam suatu lingkungan.
·
Kegunaan,
yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bengunan yang
bersifat umum dalam suatu lingkungan.
·
Keselamatan,
yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun,
harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
·
Kemandirian,
yaitu setiap orang harus dapat mencapai, masuk, dan mempergunakan semua tempat
atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa
membutuhkan bantuan orang lain.
4. Ukuran Dasar Ruang
· Ukuran
dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada ukuran tubuh
manusia dewasa, peralatan yang digunakan, dan ruang yang dibutuhkan untuk
mewadahi pergerakan penggunanya.
· Ukuran
dasar ruang di terapkan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan, bangunan
dengan fungsi yang memungkinkan digunakkan oleh orang banyak secara sekaligus dan
menggunakan ukuran dasar makasimum.
· Ukuran
dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini, dapat ditambah
atau dikurangi sepanjang asas asas aksebilitas dapat tercapai.
5.
Jalur Pemandu
untuk Pejalan Kaki
Jalur
yang memandu penyandang cacat untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin
pengarah dan ubin peringatan.
a.
Tekstur ubin pengarah
bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan.
b.
Tekstur ubin peringatan
(bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi di
sekitarnya/warning.
c.
Permukaan jalan harus stabil, kuat,
tahan cuaca bertekstur halus dan tidak licin. Apabila harus terjadi gundukan
tingginya tidak lebih dari 1,25 cm. Bila menggunakan karpet maka ujungnya harus
kencang dan mempunyai trim yang permanen.
d.
Daerah-daerah yang harus
menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks):
·
Di depan jalur lalu-lintas
kendaraan;
·
Di depan pintu masuk/keluar
dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian
lantai;
·
Di pintu masuk/keluar pada
terminal transportasi umum atau area penumpang;
·
Pada pedestrian yang
menghubungkan antara jalan dan bangunan; dan
·
Pada pemandu arah dari
fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat.
e.
Pemasangan ubin tekstur
untuk jalur pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu memperhatikan tekstur
dari ubin eksisting, sedemikian sehingga tidak terjadi kebingungan dalam
membedakan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan.
f.
Untuk memberikan perbedaan
warna antara ubin pemandu dengan ubin lainnya, maka pada ubin pemandu dapat
diberi warna kuning atau jingga.
|
|||||||
|
|||||||
B. Orientasi Mobilitas Dan Activity
Daily Living
Gerak/mobilitas dapat dipelajari melalui meniru apa (gerak) yang
dilakukan oleh orang lain di sekitarnya. Bagi anak awas mempelajari gerak
dengan cara meniru tidak menjadi masalah, tetapi bagi anak tunanetra merupakan
masalah yang besar.
Oleh
karena itu, anak tunanetra harus diajarkan melakukan gerak secara benar dan
utuh seperti yang dilakukan oleh orang pada umumnya. Mengajarkan mobilitas
secara benar dan utuh merupakan tugas dan tanggungjawab instruktur O&M dan
para guru yang menangani anak tunanetra.
Best (1992) mengemukakan bahwa anak-anak tunanetra tidak dapat dengan
mudah memantau mobilitasnya (gerakannya) dan oleh karenanya dapat mengalami
kesulitan dalam memahami apa yang terjadi bila mereka menggerakkan atau
merentangkan anggota tubuhnya, membungkukkan atau memutar tubuhnya.
Karena mereka tidak dapat melihat gerakan orang lain dengan jelas, mereka
tidak bisa mengamati bagaimana orang duduk, berdiri, dan berjalan serta
kemudian menirukannya.
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah
merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses
informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequential mode)
yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan,
atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang
hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds, 1988).
Orientasi merupakan proses mental untuk mengolah informasi
yang berhubungan dengan tiga pertanyaan berikut:
Di mana saya?, kemana tujuan saya? dan bagaimana saya
mencapai tujuan tersebut? Dengan kata lain seseorang yang sedang melakukan
orientasi berarti sedang mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan :
(1) Dalam ruang alat-alat elektronik
yang atau lingkungan tertentu, di manakah posisi seseorang berada?
(2) Di manakah tujuan yang diinginkan
seseorang sehubungan dengan posisi tersebut?
(3) Bagaimana atau dengan cara bagaimana
seseorang dapat mencapai tujuan yang diinginkan?
Latihan
orientasi dan mobilitas melatih seorang tunanetra untuk bergerak dalam suatu lingkungan
dengan efisien dan selamat seperti di lingkungan rumah, sekolah, maupun
masyarakat.
Latihan orientasi dan mobilitas mencakup
:
(1) latihan sensori
(2) pengembangan konsep
(3) pengembangan motorik
(4) keterampilan orientasi formal
(5) keterampilan mobilitas formal.
Latihan
orientasi dan mobilitas untuk anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa difokuskan
pada kemandirian untuk melakukan perjalanan di luar ruang dalam masyarakat dan
melatih mereka keterampilan khusus seperti menyeberang jalan, menggunakan
angkutan umum, melewati tangga dan lain-lain.
Sedangkan
latihan orientasi dan mobilitas untuk anak-anak difokuskan pada :
(1) memahami dan penggunaan informasi
sensoris
(2) pengenalan anggota tubuh dan gerakan
yang dapat dilakukan
(3) pengenalan obyek yang ada di lingkungan
(4) memotivasi mereka untuk bergerak dan
bereksplorasi
(5) pengenalan berbagai ruang dan
fungsinya.
Latihan
orientasi dan mobilitas untuk anak-anak prasekolah melatih mereka agar
menguasai konsep-konsep yang penting dan keterampilan mobilitas yang diperlukan
untuk perjalanan mandiri baik di dalam maupun di luar ruang seperti rumah,
sekolah, lapangan bermain dll.
Penguasaan
keterampilan orientasi dan mobilitas yang baik pada masa anak-anak membantu
mereka menjadi pejalan yang percaya diri dan mandiri pada saat dewasa.
Ada empat
sistem mobilitas yang biasa digunakan oleh tunanetra yaitu berjalan dengan
pendamping awas, tongkat, anjing penuntun (dog guide), dan alat bantu
elektronik.
Dampak Ketunanetraan
terhadap Motorik dan Mobilitas
• Spasticity
lambatnya bergerak, kesulitan, dan koordinasi gerak
yang buruk
• Dyskinesia
adanya aktivitas gerak yang tak disengaja, gerak
athetoid, gerak tak terkontrol, tak beraturan, gerakan patah-patah, dan
berliku-liku
• Ataxia
koordinasi yang buruk pada keseimbangan postur
tubuh, orientasi terbatas, oleh akibat kekakuan atau ketidakmampuan dalam
menjaga keseimbangan
• Mixed Types
merupakan kombinasi pola-pola gerak dyskitenik,
spastic, dan ataxic
• Hypotonia
kondisi lemahnya otot-otot dalam merespon stimulus
dan hilangnya gerak refleks
• Jan et al. (Kingsley, 1999)) mengemukakan bahwa
anak-anak yang mengalami ketunanetraan yang parah dengan sistem saraf yang
sehat, yang belum pernah diberi kesempatan cukup memadai untuk belajar
keterampilan motorik, sering mengalami keterlambatan dalam perkembangannya.
• Karena mereka tidak dapat melihat gerakan orang lain
dengan jelas, mereka tidak bisa mengamati bagaimana orang duduk, berdiri, dan
berjalan serta kemudian menirukannya.
• Oleh karena itu tanpa intervensi dan pembinaan
mobilitas/gerak yang tepat, benar, dan utuh anak tunanetra tidak akan memiliki
mobilitas yang baik. Secara psikologis akan menimbulkan rasa tidak percaya
diri.
-
Program
Pembinaan Gerakan Tubuh
-
Rileksasi
-
Postur Tubuh
-
Keseimbangan
-
Gerakan Non Lokomotor
-
Gerakan Lokomotor
-
Gerakan Akrobatik dan Senam
Ø Aktifitas Pengembangan Mobilitas
1. Mengembangkan gerakan:
keseimbangan,
koordinasi gerakan antar anggota tubuh, keluwesan gerak (fleksibilitas) dan
kekuatan.
2. Pola-pola Gerak Lokomotor dasar:
• berjalan,
• berlari (lebih cepat dari berjalan)
• melompat atau jingkrak, melompat dengan satu kaki
dan jatuh pada kaki yang sama
• Melompat dengan kedua kaki dan jatuh pada kedua kaki
• langkah lompat
• jingkrak lompat
• langkah kuda ke samping, yaitu sama dengan langkah
kuda tetapi gerakan ke samping
3. Membantu pemahaman kesadaran gerak.
4.
Mengembangkan konsep tentang gambaran tubuh.
5.
Mengembangkan persepsi kinestetis.
6. Mengembangkan ekspresi gerakan bebas dan eksplorasi terhadap berbagai gerakan
yang dapat dilakukan.
Aktifitas yang
dianjurkan lainnya:
• Berguling
• Jalan kepiting
• Jalan beruang
• Jalan bebek
• Matahari terbit
• Sang bangau
• Gerakan naik-turun
• Anjing laut merangkak
• Gasing
• Gergaji balok
• Gilingan tebu
• Ulat
• Loncat kodok
• Pompa
• Peras kain
• Saling tarik
• Saling tolak belakang
Ø PROGRAM O &
M
1.
Sistem layanan O & M
2.
Langkah-Langkah Layanan O & M
3.
Merancang Program Latihan O & M
4.
Melaksanakan Progam Latihan O & M
5.
Melaksanakan Penilaian Pelaksanaan dari Program Latihan O & M
C. Layanan O & M
Ø Langkah-langkah Layanan O & M
-
Identifikasi dan assesmen
-
Menentukan prioritas materi latihan
-
Menetapkan tujuan latihan
-
Menganalisa kegiatan latihan
-
Menetapkan metode dan pendekatan latihan
-
Menetapkan kriteria keberhasilan latihan
-
Menetapkan langkah tindak lanjut
Ø Merancang Program Latihan O&M
-
melakukan
persiapan (memilih materi latihan,
tempat, alat dan
media)
-
melakukan
strategi
-
melakukan
program latihan
-
keterampilan
O&M
-
melakukan
program latihan
-
keterampilan
O&M
Ø Melaksanakan Program Latihan
O&M
-
melakukan
persiapan (memilih materi latihan,tempat, alat dan media)
-
melakukan
strategi
-
melakukan
program latihan keterampilan O&M
-
melakukan
program latihan keterampilan O&M
Ø Melaksanakan
penilaian pelaksanan dari Program
Latihan O&M
-
Menentukan jenis tes (tertulis, lisan
atau praktek)
-
Membuat instrumen
-
Menentukan bobot dan skor
-
Melakukan penilaian
-
Melakukan tindak lanjut
D. Metodik Khusus Anak Tunanetra
Ø Materi Program Latihan ADL
-
merawat diri
-
tata
guna pakaian
-
penggunaan
dan perawatan kamar mandi dan WC
-
aktivitas
dapur
-
aktivitas
di ruang makan
-
membersihkan
dan merawat perabot rumah tangga
-
aktivitas
di sekitar rumah
-
perbaikan
sederhana
-
pengelolaan
keuangan
-
keterampilan
menggunakan jam tangan
-
aktivitas
sosial
-
latihan
pemeliharaan bayi dan anak
BAB II
METODE PENELITIAN
A.
Subjek
Penelitian
Dalam penelitian ini
subjek penelitiannya adalah anak-anak tunanetra yang bersekolah di SLB-A
Fajar Harapan Martapura dan aksesibilitas sekolah untuk pembelajaran OM dan
ADL.
B.
Metode
Penelitian
Waktu
pelaksanaan penelitian : Mei
2013
Nama Lokasi : SLB-A Fajar
Harapan Martapura
Observer menggunakan
metode pengamatan (observasi) dalam studi lapangan di sekolah. Disini observer terjun langsung dengan tujuan studi
lapangan. Observer melakukan
pengamatan terhadap beberapa sample anak dengan hambatan penglihatan
totally blind dan low vision. Observer meninjau tentang aksesibilitas dalam
mempelajari Orientasi Mobilitas dan ADL anak di sekolah.
BAB III
HASIL OBSERVASI DAN STUDI
LAPANGAN
A. Orientasi Mobilitas (OM) Di Sekolah
SLB-A Fajar
Harapan adalah sekolah luar biasa yang dikhususkan untuk anak tunanetra yang
berasal dari daerah-daerah sekitar wilayah kabupaten/kota. Penjaringan dari
beberapa kabupaten. Anak-anak yang sudah masuk akan dicek dulu dari sisi
analisis dari dokter dan psikologisnya, apabila sudah dapat dipastikan datanya
maka akan dilakukan sosialisasi lalu ada penandatanganan dari pihak wali yang
membawa anak tersebut baik itu orangtuanya ataupun keluarga lainnya dan anak ditempatkan
di asrama yayasan sekolah. Awal masuk mereka akan diberikan pembelajaran
tentang OM.
Guru pembimbing
OM bapak Wahyu. OM adalah pengenalan di mana anak harus terlebih dahulu
mengenal lingkungan sekolahnya, ruang kelas mana yang nanti akan mereka masuki
untuk menerima akademik. Perlu waktu yang fleksibel agar anak dapat benar-benar
mengenal lingkungannya dan agar dia tidak terkejut dengan suasana baru baik itu
kelas dan ruangan lainnya.
- Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan
maupun dari sisi interaksi dengan teman-temannya.
- Menumbuh kembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan
barunya.
- Melatih
kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
- Melatih
keberanian anak untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal yang tidak ia
temui ketika berada dirumah.
- Menumbuhkan
kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.
- Melatih
mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan dilakukan
dengan teman sebaya.
- Memberikan
pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam
suatu daerah. Pendidikan
etika yang berlaku di rumah dapat berbeda ketika anak
tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
- Mengenalkan
mereka dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini dapat memberikan pemahaman
bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok
teman sebaya nya, kelompok orang yang lebih dewasa dan kelompok orang tua.
-
memberikan motivasi agar anak tidak merasa kesepian dan memberikan suasana yang
mereka butuhkan untuk psikis mereka.
Dalam Orientasi Mobilitas di sekolah anak akan
diberikan pendekatan-pendekatan untuk hambatannya, setelah itu apabila sudah
identifikasi bahwa anak totally blind maka anak akan diberikan tongkat untuk
fasilitas mobilitasnya.
Antara OM untuk anak low vision dan totally blind
akan berbeda. Untuk anak dengan buta total akan dipelajari OM nya dengan
fasilitas tongkat sedangkan untuk low vision masih bisa tanpa memerlukan
tongkat tapi aksesibilitas yang ada sangat diperlukan.
Wahyu
(Low vision) Rumaiyanti
(Totally Blind)
Sample
data anak :
1. Nama
:
Rumaiyanti
Tempat, tanggal lahir : Barabai, 03-07-1989
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke : 3
dari tiga bersaudara
Nama Ayah : Sarman
Nama Ibu :
Nursinah
Pekerjaan orangtua : Petani
Alamat
orangtua : Desa Sulang Ai
RT.02, Kec. Birayang Kab. Hulu Sungai
Tengah
Klasifikasi hambatan : totally blind (buta total)
Awal masuk sekolah : SDLB-A Kelas V sejak 26-04-2010
Sekarang sudah duduk di kelas VII
SMPLB-A
Rumaiyanti termasuk anak dengan hambatan penglihatan
total. Ia belajar dengan menggunakan braille. Rumaiyanti mengatakan kalau ia
mendapatkan pembelajaran O & M sudah dari awal masuk sekolah. Awal OM
diberikan untuk mengenal lingkungan baru yang ia datangi, pengenalan kelas dan
ruangan yang ada disekitar sekolah atau asrama.
Sekarang rumaiyanti sudah mulai percaya diri dengan
teman-teman dan orang disekitarnya tapi masih belum mampu menyesuaikan diri
dengan orang yang baru dikenal nya.
Konsep dalam orientasi mobilitas memudahkan
rumaiyanti untuk berjalan dan mengenal jalan yang ingin dia tempuh. Rumaiyanti
diberikan fasilitas tongkat untuk memudahkannya bergerak.
2. Nama : Wahyu
Tempat, tanggal lahir : Sumber Arum, 29-08-1995
Jenis kelamin : Laki-laki
Anak ke : 3 dari tiga bersaudara
Nama Ayah : H. Abdul Malik
Nama Ibu : Hj. Hadijat
Pekerjaan orangtua : Pedagang
Alamat
orangtua :Desa Angsan kec.
Sungai Danau Kab. Tanah Bumbu
Klasifikasi hambatan : Low Vision
Awal masuk sekolah : SDLB-A Kelas VI (05-11-2007)
Sekarang sudah duduk di kelas VII
SMPLB-A
Wahyu
berasal dari sekolah reguler di daerahnya, dia sempat bersekolah sampai kelas V
dan dilanjutkan di SDLB-A Fajar Harapan.
Sebelumnya
saat di sekolah reguler wahyu merasa kesulitan dalam hal akademik dan orientasi
karena ia tidak pernah mendapat pengajaran untuk pengenalan-pengenalan tentang
lingkungan sekitarnya.
Wahyu
mengalami low vision yang dulunya ia bisa membaca ataupun menulis dengan jarak
dekat dan huruf besar. Namun, karena merasa ia berbeda dengan teman-teman
lainnya maka ia tidak percaya diri untuk belajar. Orangtua dari wahyu
memasukkan wahyu ke SLB-A karena wahyu ingi mendapat pengajaran yang sesuai
dengan kebutuhannya.
Setelah
masuk di sekolah ini wahyu langsung diberikan pengenalan-pengenalan tentang
lingkungan sekitar sekolahnya, ruang-ruang yang akan ia tempati selama asrama
di sini.
Orientasi
dan mobilitas dapat berjalan bertahap dan wahyu mulai merasa memiliki rasa
percaya diri untuk berjalan seperti biasa. Ia sudah mulai terbiasa dengan suasana
sekolah.
Low
vision yang di alami wahyu karena sistem saraf matanya yang terganggu dan
semakin hari wahyu mengalami penurunan pada penglihatannya.
Ø Orientasi
dan mobilitas anak di sekolah :
Saat anak sudah mengenal
lingkungannya, maka mereka sudah terbiasa tanpa tongkat untuk berjalan. Mereka
hanhya melakukan perabaan benda di sekitarnya.
B. ADL Yang Di Pelajari Di Sekolah
Guru pembimbing
ADL ibu Catur. Tapi saat kami ke sana
guru pembimbingnya tidak ada, jadi kami meminta keterangan pembelajaran ADL
dari beberapa sample SMP.
Dari
keterangan siswa kelas VII SMPLB-A
Rumaiyanti, ia mendapatkan pelajaran ADL untuk kegiatan sehari-hari seperti
cuci pakaian, makan, memakai baju sendiri. Di dalam asrama mereka diberikan bekal
untuk memilih baju mereka sendiri untuk pergi ke sekolah atau baju sehari-hari.
ADL dipelajari
juga bertahap, sekarang Rumaiyanti sudah mulai belajar untuk setrika baju.
Dari keterangan
wahyu siswa kelas VIII SMPLB-A, ia mendapatkan pembelajaran ADL juga bertahap.
Pembelajarannya dapat diterapkan dalam asrama merteka masing-masing. Di dalam
kamar mereka melakukan kegiatan sehari-hari seperti memilih baju yang ingin
dipakai untuk kegiatan sehari-hari, merapikan tempat tidur, mandi, makan dan
mencuci pakaian.
Anak-anak low vision dan totally blind
mendapatkan pendekatan ADL dengan tahap yang sama. Pembelajaran tersebut
dimulai ketika kelas 1 SMP kata mereka.
Bagi mereka ADL tersebut sangat bermanfaat
agar mereka daoat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan orang lain.
C. Aksesibilitas
di sekolah
Untuk
beberapa contoh aksesibilitas di sekolah yang digunakan untuk mobilitas anak.
Aksesibilitas yang ada di sekolah sudah
dirancang sesuai dengan standar untuk mobilitas anak tunanetra yang low vision maupun buta
total.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Mobilititas adalah kemampuan, kesiapan, dan mudahnya
bergerak dan berpindah. Mobilitas juga berarti kemampuan bergerak dan berpindah
dalam suatu lingkungan. Karena mobilitas merupakan gerak dan perpindahan fisik,
maka kesiapan fisik sangat menentukan keterampilan tunanetra dalam mobilitas.
Jadi mobilitas merupakan kesiapan dan mudahnya bergerak dari suatu posisi dan
tempat ke posisi dan tempat lain yang diinginkan.
Kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
penyesuaian sosial adalah kemampuan mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak
secara leluasa di dalam lingkungannya. Keterampilan mobilitas ini sangat
terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan
lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan
Ponder,1976).
Ketunanetraan akan berdampak terhadap kemampuan
mobilitas. Hal ini nampak dari gaya jalan yang jelek, kaku, postur tubuh yang
jelek, tidak luwes, tidak lentur, tidak serasi dan tidak harmonis. Tidak
harmonis antara langkah kaki dan ayunan tangan. Mobilitasnya nampak kaku dan
tidak bervariasi.
Apabila kita berbicara masalah pembinaan fisik tunanetra,
berarti kita sedang membicarakan mobilitas tunanetra, karena keduanya saling
berkaitan. Mobilitas tunanetra juga akan sangat dipengaruhi oleh sikap dan
perlakuan orang tua dan lingkungan terhadap tunanetra. Orang tua yang terlalu
melindungi juga akan berdampak negatif terhadap perkembangan mobilitas/gerak
tunanetra.
Masalah pembinaan mobilitas/gerak tunanetra bukan hanya
dilakukan oleh guru O&M saja akan tetapi juga harus menjadi tanggung jawab
semua pihak termasuk guru pada umumnya dan orang tua dan keluarga yang
berhubungan dengan pendidikan dan rehabilitasi bagi tunanetra. Demikian juga
terhadap pengembangan daya orientasi tunanetra dalam lingkungannya.
Orientasi dan mobilitas merupakan dua keterampilan yang tak
terpisahkan yaitu orientasi mental dan gerakan fisik. Orientasi adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali lingkungannya dan hubungan dengan dirinya
baik secara temporal (waktu) maupun spatial (ruang). Dalam bentuk lain
orientasi dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan indera yang masih
berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan hubungannya dengan obyek lain yang
ada di lingkungannya.
Konsep-konsep Penting bagi Anak Tunanetra Hill dan Blasch
(1980) mengklasifikasi jenis-jenis konsep yang diperlukan bagi anak tunanetra
menjadi tiga kategori besar, yaitu (1) konsep tubuh (body concepts), (2) konsep
ruang (spatial concepts), dan (3) konsep lingkungan (environmental concepts).
Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk mengenal
konsep tubuh mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali nama
bagian-bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan, hubungannya dengan bagian
tubuh yang lain, dan fungsi bagian-bagian tubuh tersebut.
Pada tanggal 20 Mei 2013 saya dan teman-teman mahasiswa
angkatan 2012 melakukan tugas observasi studi lapangan di SLB-A Fajar Harapan.
Kelompok saya melakukan pengamatan tentang pembelajaran OM dan ADL yang ada di sekolah tersebut.
Dari beberapa pengamatan kami dan dari keterangan pembimbing
sosialisasi yayasan tersebut, OM diberikan dari awal anak masuk sekolah itu
mempelajari pengenalan konsep lingkungan sekolah yang baru mereka kenal. ADL
diberikan bertahap dari mereka duduk di kelas VII SMPLB-A. ADL itu seperti
aktifitas-aktifitas sehari-hari agar mereka dapat mandiri dan mendapatkan keterampilan
untuk keluar setelah lulus dari akademik.
Anak usia dibawah 30 tahun masih diberikan
pendidikan secara akademik. Dalam asrama terpisah putra dan putri.
Untuk usia 30 tahun keatas diberikan
keterampilan khusus seperti, keterampilan membuat tas, sapu, dll, diberikan
bekal massage untuk pijat dan latihan-latihan untuk atletik.
Terakhir
kami diberikan sosialisasi oleh pembimbing untuk tanya jawab masalah observasi
yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Benner, Susan.
(2003). Assessment of Young Children with
Special Needs, A Content-Based Approach. Canada: Delmar Learning.
Departemen Sosial
RI., (2002). Panduan Orientasi dan
Mobilitas, Panti Sosial Penyandang Cacat Netra. Direktorat Bina Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, Jakarta.
David
Fulton. Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004). Mengenal Pendidikan Terpadu,
Depdiknas, Jakarta
Hadi, Purwaka.
(2005). Kemandirian Tunanetra.
Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.Hosni, Irham, (tanpa tahun). Buku Ajar Orientasi dan Mobilitas,
Depdiknas, Ditjen Dikti, Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
Hallahan,
Daniel P. and Kauffman, James M. (1986).Exceptional
Children: Intro-
duction to Special Education, Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall;
Hallahan Daniel P dan James Kaufman, (1998) Introduction to Special Education, University of Virginia
duction to Special Education, Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall;
Hallahan Daniel P dan James Kaufman, (1998) Introduction to Special Education, University of Virginia
Linda
Shaw, (1998) Inclusive Education a Human Rights Issue, CSIE Bristol
Kingsley, Mary.
(1999). The Effect of Visual Loss, dalam
Visual Impairment (editor: Mason & McCall). GBR: David Fulton,
Publisher.
Lewis, Vicky.
(2003). Development and Disability
(second edition). United Kingdom: Blackwell Publishing.
Mirza,
Dewi. (2007). Pelayanan Pendidikan bagi
Anak Tunanetra. (Online). Ter-
sedia: http://digilib.sunan_ampel.ac.id/go.php?id=jiptain-gdl-s1-2007-de-
wimirza-922#publisher#publisher;
sedia: http://digilib.sunan_ampel.ac.id/go.php?id=jiptain-gdl-s1-2007-de-
wimirza-922#publisher#publisher;
Murakami, Takuma,
M. Theibaud, Helen. (1987). Assisting The
Blind Traveler. Saitama, Japan: Japan Association for Behcet’s Disease
Sunanto,
Juang. (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan. Jakarta,: Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi
mkasih yasmin... sangat membantu.
BalasHapuskami dr mhasiswa PLB ULM proyek.